
Medan , jurnalpolisi.id
KPA wilayah Sumatera Utara menolak Rancangan Undang-undang Pertanahan yang dalam waktu dekat akan segera disahkan oleh DPR. Hal ini disampaikan didalam konferensi pers yang dilakukan oleh Kordinator Wilayah KPA Sumut Hawari Hasibuan bersama dengan Pimpinan Organisasi Rakyat, NGO dan Serikat Petani anggota KPA Wilayah Sumut, diantaranya pimpinan BPRPI (Alpi Syahrin) dan SPSB (Arie Putera Siregar, SE) di sela-sela rapat konsolidasi KPA Wilayah Sumatera Utara yang dilakukan pada tanggal 07 September 2019 di KPA Sumut d/a Yayasan BITRA Indonesia jalan Bahagia by Pass Medan.
KPA wilayah Sumatera Utara menilai bahwa RUU Pertanahan akan mengancam dan merampas kedaulatan petani dan masyarakat adat dan kontra produktif dengan semangat UUPA, padahal harusnya RUU Pertanahan menjadi regulasi yang dapat menjawab disharmonisasi peraturan perundang-undangan tentang agraria yang sudah ada selama ini bukan sebaliknya malah mereduksi norma, nilai-nilai dan kaidah yang sudah ada sehingga menciptakan ketidak-pastian hukum, berpotensi menghilangkan efektivitas dan efisiensi dalam implementasinya serta berpotensi pula pemborosan dalam sumberdaya.
Seperti diketahui, bahwa sepanjang tahun 2018, KPA mencatat bahwa ada 23 letusan konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara. Hutan Rakyat Institute (HaRI) mencatat, sejak 2014, ada 106 kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih berkonflik dengan perkebunan maupun perusahaan hutan tanaman industri, dengan luasan mencapai 346,648 hektar. Dari 106 tersebut, 75 kelompok masyarakat tani dan masyarakat adat masih berkonflik dengan perkebunan, dan 31 kelompok masyarakat tani atau masyarakat adat masih berkonflik dengan Perusahaan Hutan Tanaman Industri.
Di sekitaran Kota Medan, lahan HGU PTPN II dan eks-HGU PTPN II selama ini adalah objek konflik agraria yang tak kunjung selesai dan menjadi areal konflik terbesar dengan melibatkan berbagai aktor baik antara kelompok-kelompok masyarakat, pengusaha real estate, dan bahkan mafia tanah. Sepanjang tahun 2013-2017 terjadi setidaknya 53 kasus konflik agraria di areal eks-HGU PTPN II. (Data KontraS Sumut 2017).
Banyaknya konflik agraria tersebut memposisikan petani dan masyarakat adat sebagai korban. Tanah-tanah petani, wilayah adat, hutan adat milik masyarakat adat telah menjadi objek konsesi perusahan perkebunan dan hutan tanaman industri. Hal ini seolah terus Negara biarkan, rakyatnya menjadi korban perampasan lahan. Bahkan habisnya konsesi perkebunan tidak serta merta menjadikan tanah yang menjadi objek konflik tersebut bisa dikuasai petani dan masyarakat adat. RUU Pertanahan akan semakin membuat persoalan ini semakin pelik.
Di dalam RUU Pertanahan, persoalan HGU dan Eks HGU perkebunan selama ini merupakan objek penyebab konflik agraria. HGU mengatur hak guna usaha untuk perorangan (20 tahun) dan badan hukum (35 tahun), namun penerbitan dan penertibannya tidak diatur, serta diperpanjang lagi 20 tahun Oleh menteri demi jenis dan daya tarik INVESTASI, parahnya pasal 25 (3) memberikan pengkhususan terhadap BUMN dalam perpanjangan dan peralihan haknya dan jika kelebihan penguasaan fisiknya serta HGU yang berakhir menjadi kewenangan Menteri semata dan dalam pengelolaannya semakin membuka peluang investasi modal, bukan investasi rakyat; hal ini merupakan pengabaian hak rakyat untuk dapat mengakses tanah sebagai sumber hidup.
RUU Pertanahan tidak mengatur penyelesaia konflik agraria. Sampai saat ini, Belum adanya pengaturan mengenai mekanisme penyelesaian konflik agararia yang komprehensif merupakan akibat dari kebijakan pemerintahan masa lalu yang otoriter. Hal ini justru diarahkan pada hukum formal dengan pembentukan pengadilan pertanahan. Pengadilan Pertanahan akan berpotensi memiliki keterbatasan wewenang untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang diakibatkan oleh kebijakan negara di masa lalu. Jadi bisa dipastikan akan semakin memperlemah posisi petani dalam berperkara dengan miskinnya data dan dokumen kepemilikan.
KPA Wilayah Sumatera Utara menilai hampir secara keseluruhan isi dan RUU tersebut akan mengancam dan memuluskan perampasan tanah. RUU Pertanahan tidak mengkehendaki adanya penyelesaian konflik-konflik agraria yang dialami masyarakat adat dan petani secara berkeadilan bahkan yang muncul adalah kekuasaan Negara yang berlebihan dengan penyebutan Tanah Negara dalam kebanyakan pasal dan menteri berhak mengolah dan memanfaatkan lewat aturan yang dibuatnya; sangat potensial untuk penyalahgunaan dan berpotensi melahirkan “perselingkuhan” dengan Pemodal, bahkan terkesan pemberian impunitas terhadap korporasi (pemegang hak) yang menguasai lahan secara fisik melebihi luasan haknya (Pasal 25 ayat 8), padahal dari 2,7 juta Ha lahan yang berkonflik karena konsesi ini sebagian besar adalah tanah yang merupakan wilayah hidup masyarakat (rakyat) dan sebagian perusahaan saat ini sedang diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Untuk itu KPA Wilayah Sumatera Utara meminta agar DPR-RI tidak terburu-buru membahas dan mengesahkan RUU Pertanahan di penghujung periodeisasi DPR, jika hanya akan mencederai hati dan perasaan Rakyat dan memberikan reputasi buruk di penghujung pengabdian. RUU Pertanahan harus di bahas kembali secara komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan dengan semangat Nasionalisme dan selaras dengan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 dan UUPA; bahwa “Tanah untuk Rakyat” bukan untuk kepentingan segelintir orang (Husni)