TAF CIREBON DIDUGA TELAH MENGKEBIRI PUTUSAN MK NOMOR 18/PUU-XVII/2019 TERKAIT PERAMPASAN KENDARAAN KONSUMEN.

Menindaklanjuti pemberitaan sebelumnya, Bahwa dengan kejadian yang sudah menimpa mobil debitur atas nama JUPRI yang pada waktu itu posisinya lagi dibawah penekanan, sehingga pihak TAF Cirebon dengan menghalalkan segala macam cara dan mengutus Debt Collektornya untuk mengambil  mobil debitur atas nama JUPRI dengan cara memaksa dan menggunakan tipumuslihat, mengancam dan mengadakan penekanan secara psikologis yang seolah-olah JUPRI itu dianggap telah cidera janji (wanprestasi).

Sementara H.DENI SETIAWAN,S.H,,M.H sebagai Kepala Divisi Hukum Pengurus Pusat Media Jurnal Polisi News (JPN) angkat bicara dan Menegaskan hukum tertinggi yang ada di NKRI adalah Mahkamah Konstitusi (MK).yang secara otomatis semua leasing yang ada di Indonesia dalam oprasionalnya harus tunduk,patuh,mentaati,dan melaksanakan putusan MK nomor 18/PUU-XVII/2019.
yang pertama,kalau kita mau bicara vear segala bentuk Terjadinya Syarat-syarat Persetujuan yang Sah itu harus mengrucut ke Pasal 1320,1321 dan 1323 KUHPer.

dan yang kedua,kita juga harus merujuk ke UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.Pasal 27 ayat (1) segala warga negara bersamaan kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.Pasal 28G ayat (1) setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,keluarga,kehormatan,martabat,dan harta benda yang di bawah kekuasaanya,serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Dan yang ketiga,Sebuah cidera janji tidak bisa ditentukan secara sepihak oleh kreditur,melainkan harus dilandasi atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan pihak debitur,atau atas dasar upaya hukum(gugatan pengadilan)yang menentukan telah terjadinya cidera janji.Bahkan Mahkamah Konstitusi sendiri telah mengabulkan sebagian uji materi yaitu Pasal 15 ayat (1),ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait Sertifikat Jaminan Fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial.Artinya jika pihak debitur telah cidera atau ingkar janji (wanprestasi),maka pihak penerima Fidusia(kreditur)punya hak untuk menjual objek Jaminan dengan kekuasaanya sendiri atau lelang.

Masih dilingkup yang sama penafsiran MK juga telah memutuskan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia tidak serta-merta memiliki kekuatan eksekutorial,selain itu cidera janji dalam eksekusi perjanjian Fidusia harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.

Dan bahkan ini sangat jelas sekali ketika Anwar Usman selaku Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi yang telah membacakan AMAR PUTUSAN Nomor 18/PUU-XVII/2019,Menyatakan pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia berikut penjelasannya sepanjang frasa”kekuatan eksekutorial” dan frasa”sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai”terhadap Jaminan Fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi Jaminan Fidusia,maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa”cidera janji”bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa”adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”. “Tandas H.Deni Setiawan,S.H,,M.H di tempat kediamanya.
Disambung lagi melalui telphon selulernya,Julfan Iskandar,S.H,,M.H yang sebagai direktur oprasional nasional biro bantuan hukum Jurnal Polisi News (diropsnas BBH JPN) angkat bicara dan membenarkan apa yang telah dikatakan oleh H.Deni Setiawan,S.H,,M.H Sangatlah tepat,bahwa semua leasing atau pembiyaan haruslah mentaati putusan MK nomor 18/PUU-XVII/2019,dan tidak boleh berbuat sewenang-wenang apalagi dengan berbuat seenak sendiri sangatlah mengganggu ketenangan masyarakat,sebab kita ini harus Ingat bahwa Negara kita ini adalah negara hukum.”Pungkasnya”

Disambungkan lagi oleh AKBP(purn) Jahiras Manurung,S.H,,M.Hum Menegaskan bahwa pasal yang telah diajukan oleh AHMADDZUIZZIN,S.H,,M.H yaitu Pasal 55.Jo Pasal 378.Jo Pasal 362.Jo Pasal 363 Pasal 365.Jo Pasal 368 Jo.Pasal 355 KUHP kepada pihak penyidik yang menangani sangatlah tepat untuk dapat menjerat perbuatan segrombolan debt collektor yang selama ini sudah banyak meresahkan masyarakat.

Dalam hal ini H.Deni Setiawan,S.H,,M.H,,Julfan Iskandar,S.H,,M.H,dan AKBP (purn) Jahiras Manurung,S.H,,M.Hum Sangat mengapresiasi Kinerja pengacara Ahmaddzuizzin,S.H,,M.H yang sekaligus ketua LBH JPN wilayah jawa barat,untuk menempuh jalur hukum baik Pidana maupun Perdatanya,dan Harapan dari pihak Kami agar pihak kepolisian polres cirebon kota dapat bertindak cepat untuk menangkap para debt collektor yang sudah banyak meresahkan masyarakat dan diproses secara hukum yang berlaku di Indonesia.
Laporan JUPRI-CAHYO.R dan Team

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *