Warga Transmigran di Kabupaten Timor Tengah Utara Merasa Tidak di Perhatikan

Kec. Biboki Anleu TTU – jurnallolisi.id

Warga transmigran sebanyak 586 KK di Desa Ponu, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Propinsi Nusa Tenggara Timur belum memperoleh sertifikat tanah dalam program transmigrasi.Padahal mereka sudah berpuluh tahun berdomisili diwilayah itu.

“Masalah ini sudah pernah kami sampaikan ke DPRD TTU, saya katakan bahwa sertifikat tanah transmigrasi ini merupakan salah satu progran pemerintah pusat yang mestinya dijalankan juga untuk kami,” kata Samuel Sabah, Senin (12/7/2020).

Menurut Nuel Sabah, sapaan akrab warga setempat, dari data yang ada, bisa saja jumlahnya lebih banyak jika dicek secara detail. Dia menjelaskan, warga yang ada disekitar lokasi SP I dan SP II sudah puluhan tahun menempati lokasi tersebut, tepatnya pada bulan Maret tahun 2000. Awalnya, sebanyak 586 kepala keluarga (KK), namun dalam perkembanganya kini sudah bertambah.

“Waktu itu kami diturunkan didesa Ponu, kemudian diangkut menuju kelokasi dengan menggunakan mobil,” kenangnya.

Dalam kondisi yang masih serba sulit itu, ada yang tidak sanggup menetap lalu pergi meninggalkan lokasi. Sebagian besar masih tetap bertahan sampai sekarang.

Terkait masalah ini, anggota DPRD Kabupaten TTU mengatakan, pihaknya telah memanggil Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar segera mengakomodasi keinginan warga untuk mendapatkan sertifikat atas lokasi yang mereka tempati selama puluhan tahun itu.

Menurut Nuel Sabah, bahwa pihak DPRD mengatakan telah melayangkan undangan ke BPN dan Disnakertrans namun Disnakertrans tidak menggubris surat undangan dari DPRD sehingga yang hadir hanyalah pihak BPN.

“Saya yakin Disnakertrans dan BPN bisa menyelesaikan masalah ini kalau mereka serius,” tegas anggota komisi 3 DPRD TTU itu.

Nuel juga mengatakan, warga transmigran dilokasi SP I, sejak tahun kami ditempatkan dilokasi transmigrasi hingga sekarang hanya menerima rumah dan pekarangan, namun sertifikat yang menjadi bukti kepemilikan lahan-lahan yang dibagikan belum juga diterima.

“Kami sudah mengusulkan kemana-mana namun tidak ada kejelasan, bahkan pernah melalui desa katanya ini hak Dinas Transmigrasi,” kata Nuel

Namun berbeda dengan keterangan seorang tokoh yang bernama Vinsen Subun, dia berpendapat dengan belum diperolehnya sertifikat ditangan, warga transmigran sulit untuk menggunakan aset mereka sebagai agunan di Bank atau juga untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ada pihak ketiga yang mengklaim lahan yang mereka tempati adalah milik orang lain.

“Kalau menurut janji, lima tahun sudah ada pembagian sertifikat, tapi sampai saat ini belum-belum juga,” katanya.

Selain itu warga transmigran juga meminta perhatian pemerintah setempat agar akses jalan masuk kelokasi SP I dan SP II bisa diperhatikan. Disampaikannya, jalan yang menuju lokasi SP I dan SP II juga sudah rusak parah dan sudah berpuluh tahun lamanya dibiarkan begitu saja tanpa ada perbaikan.

“Jalan kami penuh dengan batu-batu, untuk keluar kejalan utama kalau menggunakan motor resikonya velk bisa bengkok dan yang sering terjadi adalah ban pecah,” kata Vinsen.

Kami merasa sangat di anak tirikan oleh pemerintah. Dan terlepas dari persoalan sertifikat, desa kami juga katanya belum diakui sehingga semua bantuan yang pemerintah kucurkan selama ini kami tidak pernah merasakan. Alasannya desa kami belum ada kode desanya, sehingga yang menjadi pertanyaan nasib kami sebagai anak bangsa yang cinta NKRI mau dibawah kemana.

Paulo dea Costa Soarez, tokoh masyarakat yang bermukim di SP II menyampaikan keluhannya karena sebagai warga transmigran, merasa tidak mendapat perhatian dari pemerintah.

“Kami disini sangat merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah, karena semenjak kami dipindahkan kesini, kami dibiarkan begitu saja,” katanya.

Dia berharap, kedepannya pemerintah dapat memperhatikan masyarakat transmigran SP I dan SP II. 

Disamping itu, Pankratius Paitoh juga salah seorang tokoh masyarakat setempat, menyampaikan beberapa harapan dan keluhan masyarakat transmigran SP I dan SP II selama bermukim disana, dia menyampaikan bahwa dilokasi transmigran dimaksud belum juga ada Sekolah Menengah Pertama (SMP), sehingga anak-anak kami harus berjalan jauh untuk menuju ke sekolah, padahal penduduk di SP I dan SP II lebih dari 600 KK dan lokasi untuk pembangunan Sekolah juga ada disini.

Pada bagian akhir, warga SP I dan SP II masih menaruh harapan dan berharap ada titik terang dan bantuan agar perjuangan mereka untuk medapatkan sertifikat kepemilikan membuahkan hasil. (Roy Saba)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *