DKP NTB Pertanyakan Efisiensi Kajian Amdal PLTU Jeranjang

Gerung Lombar – jurnalpolisi.id

Dampak abrasi dan berkurangnya biota ikan laut sebagai tumpuan masyarakat pesisir pantai Endok dan Jeranjang Desa Taman Ayu Kec. Gerung Lombok Barat yang diduga akibat pembuangan air bahang PLTU Jeranjang ke laut menjadi atensi Pemprov NTB khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Nusa Tenggara Barat.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Nusa Tenggara Barat Muslimin, S.T., M.Si. diruang kerjanya mengatakan ke media bahwa pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam pemasangan ROI pantai, Selasa 26 Juli 2022.

“Kita tidak pernah dilibatkan dalam pemasangan ROI. Bagaimanapun, jika kita berfikir secara obyektif dan rasional. Satu sisi PLTU adalah obyek fital negara untuk mendukung keberlanjutan kebutuhan listrik NTB. Sementara kita punya warga masyarakat yang jauh lebih lama tinggal dilokasi itu dibandingkan dengan keberadaan PLTU Jeranjang. Artinya butuh kearifan, karena kita semua tau setiap pembangunan pasti ada potensi dampak. Tapi bukan berarti hak hak masyarakat harus diabaikan,”tegasnya.

Menurutnya, pembangunan ROI tersebut dihajatkan untuk perlindungan permukiman masyarakat. Tapi persoalannya adalah bahwa fakta hari ini justru memperparah terjadinya abrasi dan kerusakan pantai. Mungkin study yang dilakukan oleh PLTU bersama para pakar ahli yang mereka gunakan itu perlu diadakan evaluasi. Dan dicek kembali sejauh mana efisiensinya.

“Disekitar mereka juga ada terminal untuk pembongkaran semen. Artinya ditengah tengah masyarakat itu ada kegiatan usaha yang cukup besar. Oleh karena itu dibutuhkan upaya agar masyarakat yang bergantung hidup di laut yang menghuni kawasan pesisir pantai diberikan jaminan agar lebih tenang menghadapi potensi musibah dampak lingkungan yang menimpa,”terangnya lagi.

Ditekankannya juga bahwa, salah satu yang perlu didorong adalah bagaimana masyarakat mendapatkan hak yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 47 tahun 2012 tentang Corporate Social Responsibility (CSR) Pusat.

Hak hak mereka itu perlu diperhatikan sebagai aspek lingkungan. Dan hak masyarakat itu harus atas dasar usulan daerah pemerintah setempat dan masyarakat kepada perusahaan. Didalam ketentuan tersebut bahwa, usulan tersebut harus dituangkan satu paket dengan rencana kerja pada saat PLPS perusahaan yang berkaitan dengan pelaksanaan CSR.

“Pertanyaannya adalah, Sejauh manakah pelaksanaan CSR itu yang sudah dibuka dan diaudit oleh publik ? sehingga orang bisa tau bahwa kehadiran perusahaan itu disamping untuk kepentingan publik juga ternyata punya perhatian terhadap masyarakat disekitar lokasi proyek,”imbuhnya.

“Kami hanya memberikan himbauan berdasarkan regulasi yang ada. Jika ada indikasi pencemaran lingkungan dan abrasi, buka saja dokumen pengelolaan lingkungannya. Media berhak melakukan itu termasuk juga masyarakat. Dan mengajukan surat kepada pemerintah untuk meminta dilakukan audit lingkungan terhadap kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran. Dan dikaji ulang untuk mengetahui apakah konsep pengelolaan lingkungan selam 10 tahun yang lalu masih efektif diterapkan tahun ini ataukah tidak. Kalau ada ditemukan kekurangan mari kita melakukan penyesuaian untuk kebaikan daerah dan perusahaan serta masyarakat sebagai penerima dampak.

Kami dari dinas Kelautan dan Perikanan NTB juga tetap mendorong, karena dilokasi itu kami juga melakukan pendampingan dan pembinaan kepada para nelayan dengan program KALAJU yaitu Kampung Nelayan Maju dengan penataan permukiman nelayan oleh pemerintah pusat.

Diharapkan juga keterlibatan CSR pusat untuk ikut berpartisifasi. Kami juga melakukan pembinan ibu ibu nelayan dalam mengolah hasil tangkapan. Ketika cuaca tak bersahabat maka diharapkan ada alternatif sumberdaya ekonomi pengolahan hasil laut sebagai penopang hidup para nelayan dan keluarganya,”pungkasnya.(mst)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *