Seminar Merajut Nusantara bertema ‘Memahami dan Menghindari Penipuan Digital’

Jakarta  – jurnalpolisi.id

Korban kejahatan siber semakin tahun kian meningkat, jalur kejahatan siber itu bersumber pada adanya disinformasi, pencurian data dan kejahatan siber itu sendiri.

Demikian diungkapkan Arwani Thomafi, Anggota Komisi I DPR RI saat Seminar Merajut Nusantara bertema ‘Memahami dan Menghindari Penipuan Digital’.

Menurut Arwani, jumlah korban kejahatan siber sejak 6 tahun belakangan terus meningkat. Korban paling tinggi terjadi pada tahun 2020.

Dari data yang dihimpun, Arwani mengungkapkan, di tahun 2016 ada 1.570 kasus, 2017 ada 1.430 kasus, 2018 ada 1.781 kasus, 2019 1.617 kasus, 2020 ada 167.675 laporan, 2021 115.756 laporan.

Arwani menambahkan, modus kejahatan itu dengan memberikan informasi yang tidak tepat sehingga pengguna terpengaruh, disinformasi memiliki target untuk pengambilalihan data rahasia (PIN).

“Kemudian, setelah data dikuasai maka kejahatan siber akan berlangsung dan merugikan pengguna, dengan demikian, meminta untuk mengambil langkah proteksi diri dengan cara meningkatkan literasi atas setiap informasi yang berada di ranah digital, khususnya yang masuk ke gadget kita,” paparnya, Kamis (28/7/2022) di Jakarta.

Selain itu, Arwani mengatakan bahwa diperlukan double check atau check and re check atas setiap informasi yang masuk. “Termasuk dengan menghubungi sumber informasi resmi untuk verifikasi informasi atau tabayyun,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Arwani menekankan pada regulasi pada perlindungan dari kejahatan siber. Yakni, UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008, RUU Perlindungan Data Pribadi. “Jadilah pengguna digital yang bijak, cerdas dan santun,” tandasnya.

Ferdian Andi, pengajar di fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta memberikan tips dalam menghindari jebakan digital, menurutnya, kejahatan siber itu berupa gendam/magic, SMS (Mama Minta Pulsa) dan Rekayasa Digital.

Peneliti di pusat kajian kebijakan publik dan hukum (PUSKPH) ini menuturkan ada beberapa jenis kejahatan tersebut.

1. Phising yakni memanfaatkan email korban saat transaksi digital untuk memperoleh data rahasia korban.
2. Impresonation atau mencuri data pribadi seperti pin atau kode keamanan lainnya saat melakukan transaksi elektronik.
3. Vishing mempengaruhi korban melalui telepon untuk mengirim data pribadi yang bersifat rahasia.
4. Smishing penipuan melalui pesan SMS (short massage services) yang berisi tautan (link) yang berbahaya dan berisi informasi baru.

Menurut Ferdian, tren baru penipuan saat ini melalui judi online dan Ponzi berkedok informasi.

“Selain itu perlu ketersedian regulasi penting untuk membentuk sistem hukum khususnya dalam menangkal penipuan online, kejahatan semakin canggih, aturan harus adaptif dengan tantangan zaman yang kian kompleks,” paparnya.

Sebab, lanjutnya, kejahatan digital saat ini kian canggih. Ketersediaan infrastruktur aparat penegak hukum harus adaptif dengan tantangan zaman.

“Kolaborasi antar lembaga mutlak dilakukan untuk menangkal kejahatan digital yang makin kompleks, bahkan kejahatan penipuan digital ini kenyataannya melibatkan warga negara asing, karena itu, penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan penipuan berbasis daring harus dilakukan secara optimal karena merugikan warga negara lainnya,” paparnya.

Prof. Dr. H. Henry Subiakto, Staf Ahli Menkominfo RI kejahatan digital ini bermula dari kemajuan teknologi dengan digital Connectivity, Pola Komunikasi, cara belajar, cara bekerja hingga, model bisnis mengalami disrupsi “disrupsi” berarti “hal tercabut dari akarnya”. Fenomena disruption (disrupsi), merupakan situasi pergerakan suatu hal yang tak lagi linier, karena hilangnya hambatan ruang (jarak) dan waktu.

“Perubahan itu sunnatulloh, tapi manusia sering menggunakan cara lama menghadapi perubahan, menghadapi perubahan membutuhkan determinasi, keberanian, tidak takut beda, tidak takut risiko gagal, dan butuh inovasi di era digital masjid bisa membawa dan menyebarkan dakwah tanpa dibatasi jarak dan waktu,” terang Guru Besar FISIP, Universitas Airlangga ini.

Berdasarkan data dari databoks.co.id, 2020, lanjut Henry, Indonesia mengalami pertumbuhan e-commerce paling
pesat dan di posisi pertama, selain karena jumlah penduduk yang besar, masyarakat Indonesia termasuk adaptif dalam menyerap informasi dan perkembangan teknologi sehingga menjadi ekosistem yang kondusif bagi pertumbuhan e-commerce.

Menurut Henry, ada dua jenis kejahatan pidana yang dilarang UU ITE mengacu Budapest Convention on Cyber Crime, larangan berbuat jahat dengan sasaran IT (Computer Crime) : Ini yang dikenal dengan perbuatan ilegal access, ilegal intercept, ilegal interference, perbuatan jahat berupa hacking, cracking, defacing, phreaking, dos attack, malicious code (penyebaran kode Jahat), malware, spyware, trojan horse, adware, virus, bot net (robot Internet), phishing, identity theft, dan lain-lain.

“Larangan berbuat jahat dengan menggunakan IT (Computer Related Crime): Merupakan Penyebaran illegal Content, seperti cyber gambling, cyber terrorism, cyber fraud (penipuan kartu kredit), cyber sex, cyber attacks on
critical Infrastructure, cyber blackmail (pemerasan), cyber threatening (pengancaman), cyber aspersion (pencemaran nama baik), dan lain-lain,” tutupnya. (Ismail Marjuki JPN).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *