Batanghari Kembali Uji Materiil Ke Mk, Ketua DPRD Di Dampingi Bupati Batanghari.

Batanghari – jurnalpolisi.id
Perubahan penulisan nama “Kabupaten Batang Hari” menjadi “Kabupaten Batanghari” dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2024 tentang Kabupaten Batanghari kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan uji materil diajukan oleh Bupati Batang Hari, Fadhil Arief dan Ketua DPRD Kabupaten Batang Hari, Rahmad Hasrofi, dengan nomor perkara 31/PUU-XXIII/2025.
Sidang perdana digelar pada Kamis (24/4/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Okto Suparman Simangunsong, kuasa hukum Pemohon, menegaskan bahwa penghilangan spasi pada nama kabupaten mengaburkan nilai sejarah dan budaya yang telah diwariskan turun-temurun.
“Nama ‘Kabupaten Batang Hari’ memiliki dasar historis kuat, ditetapkan sejak 1 Desember 1948 melalui Peraturan Komisaris Pemerintah Pusat di Bukittinggi Nomor 81/KOM/U. Peringatan Hari Jadi setiap 1 Desember adalah bentuk penghormatan terhadap warisan budaya dan sejarah masyarakat,” tegas Okto.
Pemohon berargumen bahwa penulisan “Batanghari” tanpa spasi berpotensi menimbulkan kekeliruan identitas daerah, termasuk lokasi, budaya, dan karakteristik khas yang telah dikenal masyarakat. Mereka menilai hal ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945, yang mewajibkan daerah melindungi nilai budaya dan sejarah setempat.
Selain itu, Pemohon mempersoalkan Pasal 2 UU Kabupaten Batanghari yang menyebutkan tanggal pembentukan kabupaten adalah 29 Maret 1956, merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 1956. Padahal, menurut Pemohon, tanggal yang benar seharusnya 1 Desember 1948, sesuai peraturan yang dikeluarkan di Bukittinggi pada 30 November 1948.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan:
Frasa “Kabupaten Batanghari” dalam UU 37/2024 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai “Kabupaten Batang Hari”.
Pasal 2 tentang tanggal pembentukan dikoreksi menjadi 1 Desember 1948, sesuai fakta sejarah.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan Pemohon mempertimbangkan legislative review terlebih dahulu.
“Jika dilanjutkan, MK mungkin akan mengeluarkan putusan sela yang meminta Pemerintah melalui Mendagri menyelesaikan persoalan ini. Jika tidak tercapai, baru MK turun tangan,” jelasnya.
Arief juga mempertanyakan apakah kerugian yang dialami Pemohon merupakan kerugian konstitusional, “Apakah ini benar-benar merugikan hak konstitusional atau sekadar persoalan implementasi?” tanyanya.
Majelis Hakim memberi waktu 14 hari bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonan, dengan batas waktu Rabu, 7 Mei 2025. Sidang pun ditutup dengan penjadwalan sidang lanjutan. (JPN)