Prianto Ingatkan “Awas PT. NPR Garap Rumah Dan Kebun Saya Dipitnah Terima Taliasih

Barito Utara, jurnalpolisi.id
Prianto, seorang warga Desa Karendan, Kecamatan Lahei, Kabupaten Barito Utara, menyampaikan keberatan keras atas surat pemberitahuan resmi dari PT. Nusantara Persada Resauce (PT. NPR) yang memintanya membongkar pondok ladang berpindah miliknya. Surat tersebut menyebut bahwa rumah ladang Prianto berdiri di atas wilayah konsesi IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) milik perusahaan.
Dalam tanggapannya, Prianto menolak tegas permintaan tersebut. Ia menyatakan bahwa rumah ladang tersebut telah ada jauh sebelum PT. NPR masuk ke wilayah itu, dan menilai surat itu sebagai bentuk intimidasi yang melanggar hukum.
“Saya tidak akan membongkar pondok ladang itu karena rumah saya sudah ada di sana sebelum PT. NPR datang. Mereka seolah-olah pemilik tanah, padahal mereka hanya punya izin IPPKH, bukan sertifikat hak milik,” tegas Prianto.
Lebih lanjut, ia membantah klaim dalam surat tersebut yang menyatakan bahwa tali asih dan kompensasi jasa bongkar pondok telah diberikan , talih asih tanam Tumbuh , kebun. Warga peryatan bohong PT NPR

“Saya tidak pernah menerima tali asih, tidak pernah diundang sejak tahun 2018 dalam proses apapun. Tapi mereka membuat surat seakan-akan semua sudah dibayar. Ini fitnah, pencemaran nama baik, dan kebohongan publik,” kata dia.
Prianto bahkan menyebut tindakan PT. NPR sebagai bentuk perbuatan melawan hukum, karena, Tidak pernah melakukan cek lapangan secara terbuka, Tidak melibatkan masyarakat dalam musyawarah, Melakukan pendekatan intimidatif dan tertutup.
Ia juga mempertanyakan motif PT. NPR yang begitu agresif, serta menduga adanya upaya pengrusakan dan kriminalisasi atas nama izin, padahal lahan yang dimaksud merupakan tanah adat yang telah lama dikuasai warga secara turun-temurun.
Tuntut Keadilan, Warga Minta Penegak Hukum Usut Dugaan Pelanggaran Hukum oleh PT. NPR
Menyikapi intimidasi dan ancaman pembongkaran rumah ladang oleh PT. Nusantara Persada Resauce (PT. NPR), Prianto dan masyarakat adat Desa Karendan meminta aparat penegak hukum turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan tambang tersebut.
Prianto menilai tindakan PT. NPR tidak hanya merugikan secara imateriil, tetapi juga telah melanggar sejumlah peraturan dan undang-undang, antara lain:
Dasar Hukum yang Diduga Dilanggar:
- Pasal 1365 KUH Perdata
“Setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pelakunya untuk mengganti kerugian tersebut.”
- Pasal 145 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, jo. UU No. 3 Tahun 2020
“Masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan pertambangan berhak mendapatkan ganti rugi.”
- Pasal 136 UU No. 3 Tahun 2020 (Minerba)
“Pemegang IUP wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sebelum melakukan kegiatan operasi produksi.”
- Pasal 68 UU Kehutanan
“Setiap orang berhak memperoleh kompensasi akibat hilangnya hak atas tanahnya karena penetapan kawasan hutan.”
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011
Menegaskan bahwa pengambilalihan lahan masyarakat tanpa ganti rugi dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
- Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
“Barang siapa menyiarkan berita bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dapat dipidana.”
- Pasal 310 KUHP – Pencemaran nama baik
“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh melakukan sesuatu, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.”
Tuntutan Masyarakat:
- Aparat hukum, khususnya Kapolda Kalimantan Tengah, diminta menyelidiki: Dugaan pemalsuan informasi dalam surat pemberitahuan PT. NPR, Dugaan intimidasi dan ancaman pembongkaran rumah warga.
- Pemerintah diminta menghentikan sementara seluruh aktivitas operasional PT. NPR di wilayah sengketa hingga ada penyelesaian yang adil.
- Dibentuk Tim Investigasi Independen dari Pemerintah Pusat (Kemenko Polhukam, Komnas HAM, dan KPK) untuk melakukan audit, verifikasi lapangan, dan menyusun rekomendasi kebijakan.
“Saya merasa difitnah, dijolimi, dan diintimidasi. PT. NPR tidak punya hak memaksa saya membongkar rumah ladang saya. Negara harus hadir membela rakyat kecil, bukan membiarkan kekuasaan kapital merampas hak kami,” tegas Prianto.
Kasus ini menjadi sorotan tajam atas potensi konflik agraria yang makin meningkat di wilayah tambang Kalimantan Tengah. (Indra)