Warga Kepung Kantor Wali Kota Padangsidimpuan “Sawah Kami Kering, Janji Bapak Menguap”

Padangsidimpuan, jurnalpolisi.id

Suara petani dari Padangsidimpuan Batunadua menggema di halaman Kantor Wali Kota Padangsidimpuan, Selasa pagi, 3 Juni 2025.

Di antara slogan bertuliskan “Merdeka Petani!” dan “Air untuk Sawah Kami!”, warga mendesak pemerintah bertanggung jawab atas mandeknya proyek irigasi senilai miliaran rupiah yang tak kunjung mengairi ladang mereka.

Di bawah terik matahari, mereka datang dengan satu tuntutan sederhana: air. Tapi tuntutan itu sarat amarah dan rasa dikhianati.

“Sudah cukup kami bersabar,” seru salah satu petani. “Bapak Wali Kota sendiri yang bilang Agustus 2024 air akan mengalir. Sekarang sudah pertengahan 2025 yang datang bukan air, tapi debu dan janji.”

Janji Tinggal Ucapan, Sawah Tetap Kering

Aksi ini dipicu oleh mangkraknya proyek Rehabilitasi Irigasi Ujung Gurap yang menelan dana Rp3,2 miliar dari APBD Provinsi Sumatra Utara.

Pekerjaan dimulai tahun 2024 dengan harapan mampu mengairi areal pertanian di tujuh desa. Tapi di lapangan, proyek justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada hasil.

Sebagian saluran tak pernah selesai dibangun. Buis beton yang dijanjikan tak terlihat, box culvert mangkrak, dan volume air yang mengalir jika pun sempat tak lagi mencukupi lahan-lahan pertanian.

“Dulu cukup untuk tujuh desa, sekarang dua desa pun berebut,” ujar seorang petani lainnya. Akibatnya, kecemburuan sosial mulai tumbuh di antara petani yang sama-sama dirugikan.

Warga menduga ada masalah struktural dan pengawasan dalam proyek ini. Mereka menyoroti ketidakhadiran pelaksana di lapangan, minimnya informasi kepada publik, dan dugaan kuat bahwa pengerjaan tak sesuai perencanaan.

Kontrak Putus, Air Tak Sampai

Kepala UPTD PUPR Sumatera Utara wilayah Padangsidimpuan, yang turun langsung menemui massa, mengakui proyek tersebut gagal. “Kami sudah berikan waktu tambahan 50 hari kerja. Tapi tidak ada progres signifikan, kontrak kami putuskan,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa pekerjaan terkendala oleh berbagai faktor, bencana longsor, banjir, hingga konflik dengan pemilik lahan yang tak mengizinkan alat berat melintas. Namun bagi warga, penjelasan itu tak mengobati kerugian.

“Kalau semua itu sudah diketahui dari awal, kenapa tidak ada mitigasi? Jangan salahkan alam ketika pengawasan dan pelaksanaan kalian sendiri amburadul,” timpal seorang warga .

Diketahui, 30 persen dana proyek telah dicairkan. Warga mendesak agar dilakukan audit menyeluruh dan menuntut kejelasan siapa yang bertanggung jawab atas gagalnya proyek yang kini hanya menyisakan puing dan kekecewaan.

Janji Baru, Keyakinan Lama yang Retak

Menjelang siang, perwakilan Pemerintah Kota akhirnya menemui massa. Mereka menyampaikan bahwa Pemkot tengah menyiapkan skema alternatif agar air dapat dialirkan secara darurat ke lahan-lahan warga.

“Kami butuh waktu tiga minggu untuk menyiapkan jalur teknis alternatif,” ujar pejabat itu.

Namun respons ini tak serta-merta meredakan kegelisahan. Di tengah massa, suara-suara skeptis muncul. “Tahun lalu bilang seminggu. Sekarang tiga minggu. Nanti apa lagi? Tiga bulan?” sindir petani, Warga Kecamatan Batunadua

Bagi petani yang hidup dari siklus musim tanam, tiga minggu berarti terlalu lama. Mereka telah melewatkan lebih dari satu musim tanam karena irigasi gagal berfungsi. “Kami tidak bisa menanam janji,” tambahnya.

Lima Tuntutan dan Satu Janji yang Diawasi

Aksi ditutup dengan pembacaan lima poin pernyataan sikap warga. Isinya antara lain:

  1. Mendesak Wali Kota Padangsidimpuan bertanggung jawab atas keterlambatan proyek dan kegagalan distribusi air.
  2. Menuntut audit proyek Rehabilitasi Irigasi Ujung Gurap senilai Rp3,2 miliar.
  3. Menghentikan praktik pembangunan yang tak transparan dan berpotensi merugikan masyarakat.
  4. Meminta solusi darurat pengairan sawah dalam waktu sesingkat mungkin.
  5. Mengajak masyarakat bersatu menuntut hak dasar atas air dan kehidupan yang layak.

Warga menyatakan akan mengawal ketat janji tiga minggu dari Pemkot. Bila tidak dipenuhi, mereka akan kembali dengan aksi yang lebih besar. “Ini bukan urusan politik. Ini soal perut, soal hidup,” tegas seorang ibu petani yang ikut aksi.(P.Harahap)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *