ESG di Jantung Tapanuli, Membangun Tambang yang Berdamai dengan Alam
Tapanuli selatan, jurnalpolisi.id
Upaya menuju pertambangan berkelanjutan kini kian menemukan bentuk nyatanya. Tak hanya berfokus pada keuntungan ekonomi, sejumlah perusahaan tambang mulai menerapkan strategi green mining yang mengutamakan pelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Langkah ini diwujudkan melalui penerapan Panduan Konservasi Keanekaragaman Hayati dokumen penting yang mengidentifikasi potensi dampak ekologis di seluruh siklus hidup kegiatan pertambangan.
Panduan tersebut merinci empat langkah konservasi utama pencegahan, mitigasi, pemulihan, dan kompensasi, yang disesuaikan dengan setiap fase eksplorasi, konstruksi, operasi, hingga penutupan tambang.
Dengan pendekatan ini, perusahaan menegaskan komitmennya untuk melindungi keanekaragaman hayati di setiap tahap kegiatan usaha.
Prinsipnya sederhana namun tegas eksploitasi sumber daya tidak boleh menjadi akhir dari kehidupan ekosistem, melainkan bagian dari proses pemulihan alam.
Di tambang emas yang menjadi tempat lahir perusahaan, program pemulihan lingkungan berjalan seiring dengan pengembangan tambang.
Pendekatan parallel restoration ini memungkinkan proses ekologis dan rehabilitasi keanekaragaman hayati berlangsung bersamaan sepanjang masa operasional.
Untuk meminimalkan dampak terhadap habitat, perusahaan Harus secara rutin melakukan survei biodiversitas setiap enam bulan dengan melibatkan pakar independen.
Kamera pengintai harus dipasang di seluruh area tambang untuk memantau pergerakan satwa dan pola migrasi mereka. dan hasil pengamatan menjadi dasar bagi penyesuaian sistem pengelolaan, agar strategi konservasi berjalan efektif dan berkelanjutan.
Selain itu, di area pertambangan emas, perusahaan Harus menerapkan strategi pemulihan cepat dengan kombinasi rekayasa teknik dan optimalisasi vegetasi meliputi pengelolaan air bertingkat, stabilisasi lereng, perbaikan tanah, dan pemilihan tanaman endemik.
Untuk mendukung konservasi satwa liar lokal, perusahaan juga membangun sarang burung buatan di tepi sungai, taman botani, dan jalur hijau di sekitar area tambang.
Selain itu, tim lingkungan perusahaan bekerja sama dengan komunitas lokal dalam mengevakuasi dan melepaskan kembali hewan liar yang tersesat ke habitat aslinya.
“Kalau upaya seperti ini dilakukan dengan konsisten dan disertai keterlibatan masyarakat lokal, maka tambang bisa menjadi bagian dari solusi ekologis, bukan sekadar sumber masalah,” ujar Ery Lintang, salah satu pendiri Kelompok Pecinta Alam (KPA) MATA ALAM, kepada Awak Media.
Menurut Ery, prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) harus menjadi panduan utama dalam setiap tahap perencanaan tambang. “
Kita tidak bisa bicara keberlanjutan tanpa bicara soal konservasi. Hutan, air, dan keanekaragaman hayati adalah fondasi dari keberlanjutan hidup manusia. Jika rusak, maka tambang tidak akan punya legitimasi sosial,” ujarnya menegaskan.
Nilai penting konservasi ini tercermin jelas di kawasan Ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Dalam bahasa lokal disebut Harangan Tapanuli, kawasan ini membentang lebih dari 340 ribu hektare, meliputi wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara.
Kawasan ini terdiri atas Cagar Alam Sibual-buali, Lubuk Raya, Dolok Sipirok, dan Dolok Saut, serta hutan lindung seluas 128.384 hektare.
Lanskapnya menampilkan hutan hujan tropis dari dataran rendah hingga pegunungan, sebagian besar masih berupa hutan primer.
Batang Toru menjadi rumah bagi Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) primata paling langka di dunia, yang populasinya diperkirakan tinggal sekitar 800 individu.
Selain itu, lebih dari 500 jenis anggrek juga tumbuh di wilayah ini, memperkaya keanekaragaman flora lokal Sumatera Utara.
“Batang Toru bukan sekadar hutan, tapi juga sekolah alam bagi masyarakat Tapanuli. Di sana ada air, udara, kehidupan, dan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi,” kata Ery Lintang.
Kawasan ini menjadi penyangga air bersih dan sumber ekonomi bagi ribuan warga di empat kecamatan Batang Toru, Angkola Sangkunur, Muara Batang Toru, dan Mandailing Natal. Ada sembilan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan lebih dari 60 sub-DAS yang menopang pertanian, perkebunan, serta kebutuhan rumah tangga.
Sekitar 95 persen masyarakat di sekitar hutan Batang Toru memanfaatkan air langsung dari sumber alami. Selain itu, hasil hutan seperti getah kemenyan (haminjon) menjadi sumber mata pencaharian utama yang sudah diwariskan turun-temurun.
Ery menilai, pelibatan masyarakat menjadi kunci keberhasilan konservasi. “Tidak bisa hanya perusahaan atau pemerintah. Masyarakat adat dan warga lokal harus menjadi penjaga utama, karena mereka yang paling tahu bagaimana hutan ini hidup,” ucapnya.
Keberlanjutan tambang tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan ekosistem. Ketika konservasi, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi berjalan seiring, maka harmoni antara ekonomi, lingkungan, dan sosial bukan lagi angan.
Seperti kata Ery Lintang, “Tambang berkelanjutan bukan berarti tanpa dampak, tapi bagaimana dampak itu dikelola agar kehidupan bisa terus tumbuh kembali.”
Dari lubang tambang hingga tepian hutan, kehidupan memang selalu mencari jalan untuk bertahan selama manusia mau berjalan bersamanya.
(P.Harahap)
