Ketum DANRI Sultan Sepuh Cirebon Tegaskan Perlindungan Hak Ulayat Kesultanan: Sertifikasi Tanah Wajib Tunduk pada Hukum Adat dan Persetujuan Sultan

Cirebon — jurnalpolisi.id

Kanjeng Gusti Sultan Sepuh Cirebon, Pangeran Heru Rusyamsi Arianatareja, S.Psi., M.H., yang dikenal sebagai Pangeran Kuda Putih, selaku Ketua Umum Dewan Adat Nasional Republik Indonesia (DANRI), menyampaikan imbauan serius dan tegas kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di bawah kepemimpinan Menteri Nusron Wahid, agar mengingatkan seluruh Kantor Pertanahan (Kantah), khususnya di wilayah zona Kesultanan Cirebon, untuk lebih berhati-hati, taat hukum, dan menghormati hak adat dalam setiap proses sertifikasi tanah.

Sultan Sepuh menegaskan bahwa tanah ulayat Kesultanan Cirebon bukanlah tanah negara bebas, melainkan memiliki dasar historis, yuridis, dan konstitusional yang kuat, yang tercatat dalam landerform (peta rincik) tahun 1811 dan 1857. Sejak masa tersebut hingga hari ini, tidak pernah terjadi pelepasan hak, penyerahan kepada negara, maupun ganti rugi atau kompensasi dari pihak manapun kepada Kesultanan Cirebon.

Landasan Konstitusi dan Regulasi Negara

Sultan Sepuh menekankan bahwa sikap Kesultanan Cirebon sepenuhnya sejalan dengan hukum negara, sebagaimana diatur secara jelas dalam berbagai regulasi, antara lain:

  1. Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:
    “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA):

Pasal 3, yang mengakui keberadaan hak ulayat dan hak-hak serupa masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada.

Pasal 5, yang menegaskan bahwa hukum agraria nasional berlandaskan pada hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961, khususnya Pasal 4 Ayat (1) tentang Pelaksanaan Landreform, yang mengatur penguasaan dan penggunaan tanah dengan tetap memperhatikan hak-hak yang sah berdasarkan hukum.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, khususnya Pasal 98 Ayat (2), yang menegaskan bahwa tanah swapraja atau bekas swapraja dapat diberikan atau dikembalikan kepada pemegang hak swapraja/ex swapraja untuk dikelola dan digarap sendiri.
  3. Peraturan Menteri ATR/BPN RI Nomor 14 Tahun 2024, yang secara khusus mengatur tentang Tanah Ulayat dan Tanah Adat, serta menegaskan kewajiban negara untuk melindungi dan menghormati hak masyarakat adat dan lembaga adat yang sah.

“Seluruh peraturan pelaksana (peraturan organik) dan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan wajib mengacu pada sistem hukum adat. Ini bukan kehendak sepihak Kesultanan, melainkan perintah konstitusi,” tegas Sultan Sepuh.

Sertifikasi Tanah Tidak Cukup dengan Surat Kepala Desa

Sultan Sepuh menyoroti praktik di lapangan yang dinilainya menyimpang dari hukum dan melukai keadilan adat, di mana proses sertifikasi tanah sering kali hanya didasarkan pada surat keterangan riwayat tanah dari kepala desa, tanpa melibatkan atau meminta persetujuan pihak Kesultanan.

“Dalam wilayah tanah ulayat dan tanah adat Kesultanan Cirebon, sertifikasi tidak cukup hanya dengan surat kepala desa. Harus ada surat pelepasan hak dari Sultan atau Raja, selaku pemegang kewenangan adat atas tanah ulayat dan tanah adat,” tegasnya.

Ia menyayangkan maraknya praktik oknum-oknum tertentu yang dengan mudah mengajukan penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun Sertifikat Hak Pakai (SHP) di atas tanah Kesultanan, yang pada akhirnya merugikan pihak Kesultanan dan membuka ruang subur bagi mafia tanah.

Dugaan Penguasaan dan Komersialisasi Tanah Kesultanan

Lebih jauh, Sultan Sepuh mengungkapkan bahwa di wilayah Cirebon sendiri, terdapat sejumlah Perusahaan Daerah (PD) seperti PD Pembangunan, PD Pertanian, dan entitas lainnya yang menguasai tanah-tanah Kesultanan Cirebon dengan dasar Peraturan Daerah (Perda), tanpa pernah ada proses pelepasan hak yang sah.

“Lahan-lahan kami diambil, dikelola, dibisniskan, bahkan diperjualbelikan kepada pihak swasta dan pengembang perumahan. Praktik-praktik tersebut, sangat kami sayangkan, masih berlangsung hingga hari ini,” ungkap Sultan Sepuh dengan nada prihatin.

Seruan Koordinasi dan Penghormatan Hukum Adat

Sultan Sepuh Cirebon menyerukan kepada seluruh pihak—baik instansi pemerintah, BUMD, swasta, maupun masyarakat—yang ingin menggunakan atau memanfaatkan tanah di wilayah ulayat Kesultanan Cirebon, agar mengutamakan dialog, koordinasi, dan musyawarah dengan pihak Kesultanan.

“Saya sebagai Sultan memiliki kewenangan adat atas tanah-tanah ulayat Kesultanan Cirebon. Penghormatan terhadap hukum adat bukanlah bentuk perlawanan terhadap negara, melainkan justru bagian dari menjaga marwah hukum nasional dan keadilan sosial,” pungkasnya.

Melalui pernyataan ini, Sultan Sepuh berharap negara hadir secara adil dan berwibawa, sehingga penataan agraria di Indonesia benar-benar mencerminkan keadilan konstitusional, penghormatan terhadap sejarah, dan perlindungan hak masyarakat adat sebagai fondasi persatuan bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *