Sengketa Lahan di Penulihan Berujung Dugaan Praktik Mafia Tanah dan Pelaporan ke Polisi.

Purbalingga,- jurnalpolisi.id

Konflik lahan di Desa Penulihan, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga, yang melibatkan pemilik sah sertifikat, Kaerun, dan dua penguasa lahan, kini memasuki babak baru. Upaya penyelesaian damai kandas setelah pihak penguasa lahan menawarkan ganti rugi yang dinilai tidak masuk akal, menguatkan dugaan adanya praktik mafia tanah dan keterlibatan oknum aparat desa dalam penerbitan dokumen negara yang cacat prosedur.

​Kronologi: Musyawarah Damai yang Berakhir Penolakan Tegas

​Persoalan ini bermula dari transaksi jual beli lisan atau “berdasarkan kepercayaan” di masa lalu tanpa dokumen tertulis yang sah. Musyawarah kekeluargaan telah digelar dua kali, terakhir pada Selasa (11/11/2025) di Aula Kantor Desa Penulihan, dihadiri oleh Camat Kaligondang, APH setempat (Bhabinkamtibmas dan Babinsa), Kepala Desa, dan perwakilan kuasa hukum Kaerun dari PBH Merah Putih.

​Dalam pertemuan klarifikasi tersebut, PBH Merah Putih meminta bukti otentik berupa fotokopi dokumen jual beli. Ironisnya, pihak tergugat tidak dapat menunjukkan bukti otentik kepemilikan yang sah.

​”Lahan yang disengketakan dan masih atas nama Kaerun (pemegang sertifikat) itu sudah terbit SPPT atas nama orang lain. Hal ini menguatkan dugaan adanya proses penerbitan dokumen negara (SPPT) yang tidak prosedural,” ujar Tri’anto dari PBH Merah Putih.

​Meskipun demikian, musyawarah sempat mencapai kesepakatan damai penyerahan lahan dengan imbalan nominal uang, di mana pihak tergugat meminta waktu hingga 11 Desember 2025 untuk memenuhinya.

​Dugaan Pelecehan dan Nilai Ganti Rugi yang Jauh dari Harga Pasar
​Harapan damai buyar pada Kamis (11/12/2025). Melalui Kepala Desa, pihak tergugat hanya menyanggupi pemberian ganti rugi sebesar Rp10.000.000,00 (Sepuluh Juta Rupiah).

​Tawaran tersebut langsung ditolak tegas oleh Tri’anto, yang menilai nominal itu sebagai pelecehan terhadap harga pasar tanah.

​”Masak tanah 250 ubin dihargai 10 juta. Sedangkan di harga jual beli sekarang yang tercatat itu berkisar Rp1.400.000 ribuan [per ubin]. Kita anggap saja misalkan satu juta. Jelas sudah mencapai Rp250.000.000,00. Yang 10 Juta dari seperempatnya saja tidak cukup,” tegas Tri’anto, menolak tawaran yang terlampau jauh dari nilai wajar.

Sertifikat Hukum Kuat, SPPT Cacat Prosedur
​PBH Merah Putih menegaskan bahwa secara hukum, Kaerun memiliki kedudukan yang paling kuat sebagai pemegang Sertifikat Hak Milik (SHM), yang merupakan bukti kepemilikan yang sah, terkuat, dan terpenuh (Pasal 32 Ayat 1 PP No. 24 Tahun 1997).

​Sebaliknya, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) hanya merupakan dokumen pajak, bukan bukti kepemilikan hak atas tanah. Penerbitan SPPT atas nama pihak lain tanpa didukung Akta Jual Beli (AJB) yang sah dari pemilik sertifikat merupakan maladministrasi berat dan indikasi kuat adanya pemalsuan data oleh oknum aparat.

Langkah Hukum: Laporan ke Aparat Penegak Hukum
​Akibat ketidaksesuaian nominal ganti rugi dan dugaan pelanggaran hukum yang terstruktur, PBH Merah Putih memutuskan untuk membawa kasus ini ke jalur pidana dengan melaporkannya ke Aparat Penegak Hukum (APH).
​Laporan yang akan diajukan mencakup dua dugaan tindak pidana serius:

​Penyerobotan Lahan milik orang lain (Pasal 385 KUHP).
​Pemalsuan Surat/Data (Pasal 263 KUHP) yang melibatkan oknum aparat desa dalam penerbitan SPPT tanpa dokumen jual beli yang sah dari pemilik sertifikat.

​Langkah ini diambil untuk mengusut tuntas dugaan praktik mafia tanah, dengan harapan agar semua pihak yang terlibat, termasuk oknum yang menyalahgunakan wewenang, dapat ditindak sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

​(syai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *